Di Indonesia, keuangan mikro (institusi microfinance) merupakan salah satu strategi potensial dalam upaya penanggulangan masalah kemiskinan. Akses terhadap jasa keuangan mikro memungkinkan masyarakat yang kurang mampu dalam meningkatkan pendapatan, peningkatan aset, mengurangi kerentanan terhadap guncangan eksternal, serta terciptanya lapangan kerja.
Asian Development Bank (ADB) mendefinisikan keuangan mikro sebagai penyediaan layanan keuangan yang seluas-luasnya, seperti deposito, pinjaman, jasa pembayaran, transfer uang dan asuransi bagi masyarakat kurang mampu, berpenghasilan rendah serta kepada usaha-usaha kecil/mikro. Dalam konteks Lembaga keuangan di Indonesia, institusi microfinance biasa diterjemahkan sebagai pembiayaan mikro atau kredit mikro, yaitu aktivitas pembiayaan yang ditujukan bagi nasabah berpenghasilan rendah di mana pada umumnya belum terjangkau oleh bank umum.
Berdasarkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tujuan dari institusi microfinance (LKM) antara lain meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat, membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat, serta membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah.
OJK juga menetapkan kegiatan usaha institusi microfinance (LKM), yang meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha. Aktivitas keuangan mikro ini umumnya dilakukan oleh lembaga-lembaga pembiayaan mikro seperti Bank Perkreditan Rakyat, Koperasi Simpan Pinjam, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), hingga berbagai kelompok arisan.
Lembaga keuangan mikro memiliki berbagai prinsip umum dalam penerapannya. Pelayanan dan pengembangan produk institusi microfinance harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi nasabah mikro, serta pelayanannya terbuka bagi seluruh lapisan masyarakat melalui pendekatan sistem danĀ prosedur yang mudah, lokasi yang strategis sehingga mudah dijangkau. Selain itu, organisasi, sistem operasional, administrasi, pengawasan dan sistem informasi didesain secara sederhana, mudah, efisien, efektif, dan transparan. Kemudian, kelangsungan kegiatan juga didukung oleh sistem yang berjalan dengan baik, serta menjamin keberlanjutan pelayanan dan menyumbang manfaat bagi nasabah dan pengembangan kinerja pelayanan itu sendiri.
Meskipun memiliki peran yang strategis dalam pemberdayaan ekonomi, penerapan institusi microfinance di Indonesia tentunya tidak terhindar dari berbagai permasalahan dan tantangan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Dari segi internal mencakup lemahnya kualitas sumber daya manusia serta terbatasnya sumber pendanaan. Sedangkan dari segi eksternal yaitu rendahnya kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap lembaga keuangan mikro.
Hal yang umum dijumpai di Indonesia, yakni masyarakat miskin lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan finansial mereka melalui berbagai bentuk pemenuhan finansial yang umumnya informal. Mereka meminjam uang dari pelepas uang tidak resmi (rentenir/lintah darat) yang biasanya mengenakan bunga yang sangat tinggi. Untuk jasa simpanan, mereka memanfaatkan kegiatan pengumpulan uang melalui arisan* ataupun simpanan lebaran. Jasa-jasa informal cenderung tidak teratur dan sangat beresiko karena keamanan yang tidak terjamin. Sementara itu, sistem pelayanan bank dinilai lebih sulit bagi masyarakat miskin, sehingga tidak banyak dari mereka yang bisa dengan mudah merasakan fasilitas perbankan.
Pada dasarnya, layanan institusi microfinance dapat dilakukan baik oleh lembaga, mulai dari pemerintah, swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga keuangan formal maupun informal, bahkan perseorangan. Namun sayangnya, keberadaan lembaga keuangan mikro ini belum mendapat tempat yang jelas dalam perekonomian nasional, hal ini menyebabkan layanan institusi microfinance cenderung belum mampu memberi dampak besar dalam mengatasi persoalan perekonomian masyarakat.
Kehadiran institusi microfinance diharapkan dapat diimplementasikan dengan efektif dan berkelanjutan, sehingga dapat menjangkau lebih banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan sehingga dapat menolong banyak masyarakat. Sebagai individu maupun komunitas, kita dapat dengan sangat mudah membantu dan terlibat dalam penerapan institusi microfinance.
Amartha, Institusi Microfinance Ajak Pendana Milenial Ciptakan Dampak Sosial
PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) sebagai microfinance marketplace yang berfokus pada pemberdayaan perempuan pengusaha mikro lewat layanan keuangan inklusif, mengajak generasi milenial untuk memulai berinvestasi dengan prinsip impact investing. Impact investing atau pendanaan berdampak adalah strategi investasi yang menghasilkan keuntungan sekaligus menciptakan dampak positif untuk sosial dan lingkungan.
Berdasarkan laporan Amartha yang bertajuk Social Accountability Report (SAR) 2019, jumlah pendana Amartha didominasi oleh generasi milenial yakni sebesar 68 persen, kemudian disusul 19 persen oleh generasi X, dan 10 persen oleh generasi Z. Ketertarikan generasi milenial untuk mendanai di Amartha merupakan wujud kepedulian generasi milenial terhadap investasi yang berdampak.
Impact investing dapat menjadi pilihan bagi generasi milenial dalam mendiversifikasi portofolio investasinya. Untuk memastikan pendanaan dapat menciptakan dampak, maka pendana harus mencermati portofolio usaha yang akan didanai. Sektor seperti UMKM perempuan, usaha rumah tangga, pertanian dan perkebunan ramah lingkungan, bisa menjadi pilihan untuk melakukan impact investing, karena berpeluang memperoleh imbal hasil dari sektor tersebut dan menciptakan dampak. Yuk ikut ciptakan dampak sosial dengan Amartha